DIMENSI EPISTEMOLOGI DALAM EKSISTENSI ILMU
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Ilmu
yang dibina oleh Bapak Rosyid Al Atok
Oleh
Devi Tri Anita (107171402072)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dimensi keilmuan meliputi hakekat dari ilmu pengetahuan, dimensi ontologis, dimensi epistemologis, dimensi aksiologis dan ilmu pengetahuan. Namun pada pokok bahasan kali ini kami hanya akan membahas mengenai dimensi epistemologis yang merupakan cabang dari filsafat yang mempunyai peran penting dalam perkemembangan ilmu pengetahuan. Salah satu wilayah bahasan epistemologi adalah persoalan bagaimana cara seseorang memperoleh pengetahuan.
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural studies).
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apakah pengertian dimensi epistemologi?
1.2.2. Apa sajakah aliran-aliran yang digunakan dalam epistemologi?
1.2.3. Apakah peran epistimologi dalam kaitannya dengan eksistensi ilmu?
1.2.4. Apakah problematika dalam dimensi epistemologi?
1.2.5. Apakah peran dimensi epistemologi bagi masalah aktual yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari?
1.3. TUJUAN
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dimensi epistemologi
1.3.2. Untuk mengetahui aliran-aliran yang digunakan dalam epistemologi.
1.3.3. Untuk mengetahui peran epistimologis dalam kaitannya dengan eksistensi ilmu
1.3.4. Untuk mengetahui problematika dalam dimensi epistemologi
1.3.5. Untuk mengetahui peran dimensi epistemologi bagi masalah aktual yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN DIMENSI EPISTEMOLOGIS
Istilah Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Jadi, epistemologi juga dapat diartikan sebagai filsafat pengetahuan. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa filsafat pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai maslalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Epistemologi adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang tampaknya tidak rasional.
a. J.A. Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal tentang watak, batas – batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan.
b. Jacques Veuger mengemukakan, epistemologi pengetehuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain.
c. Abbas Hamami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemologi adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenarandari pengetahuan yang telah terjadi itu.
Dalam kepustakaan
Pengetahuan adalah segala yang dapat diketahui manusia dari hasil proses tindakan manusia berfikir dengan melibatkan seluruh keyakinan berupa kesadaran yang ingin diketahui. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil dari proses mengenal karena adanya hubungan antara subyek yang sadar dengan obyek yang in gin dikenal. Dalam pengertian ini pengetahuan mencakup dalam hanya pengetahuan ilmiah akan tetapi segala sesuatu yang dapat diketahui manusia seperti filsafat, agama dan seni.
Ilmu pengetahuan sering disebut ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan yang diperoleh dan dikembangkan serta disusun secara tertentu melalui proses epistemologi. Dalam arti terbatas, ilmu pengetahuan berarti pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu-ilmu positif yang mempelajari segala sesuatu berdasarkan dengan cara dan kaidah tertentu dengan pengujian melalui data terbatas dan juga dengan kesimpulan sebatas data itu pula (Pranarka, 1998 :1)
Kesimpulannya, epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas–batas, sifat, metode, dan keahihan pengetahuan. Jadi, obyek material epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
2.2. ALIRAN YANG DIGUNAKAN DALAM EPISTEMOLOGI.
- Empirisme
Kata ini bersala dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan dari pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya. John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rasa yang secra bahasa seperti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.
Kelemahan aliran ini cukup banyak. Kelemahan pertama ialah indera terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek tidak sebagaimanaadanya; dari sini akan terbentu pengetahuan yang salah. Kelemahan kedua indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan yang empiris salah juga. Kelemahan yang ketiga dalah objek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi yang salah. Kelemahan yang keempat berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tiadak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memeperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika kita melihatnya dari depan,yang kelihatan dalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
- Rasionalisme
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia, menuut aliran inin, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek. Orang mengatakan (biasanya) bapak aliran ini ialah Rene Descartes (1596-1650); ini benar. Akan tetapi, sesungguhnya paham seperti ini sudah ada jauh sebelum itu. Orang-oang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam mmeperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles. Bagi alian ini kekeliruan pada aliran empirisme, yang disebabkan kelemahan alat indera tadi, dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Benda yang jauh kelihatan kecil karena bayangannya yang jatuh di mata kecil, kecil karena jauh. Gula pahit bagi orang yang demam karena lidah orang yang demam memang tidak normal. Fatamorgana adalah gejala alam. Begirtulah seterusnya.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan; pengalaman indera digunakan untuk merangsang akal dan memeberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas.
Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir. Akal mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi, akal bekerja karena ada bahan dari indera. Akan tetapi, akal akal dapat juga menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat juga menghasilkan objek yang betul-betul abstrak. Kelihatannya sudah jelas hal pengetahuan itu sampai di sini. Namun, ternyata belum. Indera dan akal bekerja sama belum juga dapat dipercaya mampu memperoleh pengetahuan yang lengkap, yang utuh. Dengan indera, manusia hanya mampu mengetahui bagian-bagian tertentu tentang objek. Manusia mampu menangkap keseluruhan objek hanyalah dengan dengan intuisinya.
- Positivisme
Tokoh aliran ini adalah August Compte (1798-1857). Ia penganut empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi melalui eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuan yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan (timbangan atau neraca), dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas, ketiak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimuli. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur. “Terukur” itulah sumbangan positivisme.
Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific methode) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.
- Intusionisme
Henri Bregson (1859-1941) adalah tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah. Jadi, pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelektual juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal ini manusia tidak mengetahui keseluruhan (unique), tidak juga dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada objek, kemudian bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan menyeluruh tentang objek itu. Ambillah contoh: adil. Apa itu adil? Akal memahaminya dari segi si terhukum, timbul pemahan akali; memahaminya dari segi hakim, timbul pemahaman akali; dari keluarga si terhukum’ timbul pemahaman akali; dari segi jaksa, dan seterusnya. Nanti disimpulkan, adil adalah jumlah pemahaman akali itu. Itu belum tentu benar. Nah, disinilah intusionisme masuk.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan di atas, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Intuisi ini menangkap objek secara langsungtanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap (lihat Encyclopeia Americana, 3:580-1). Ada sebuah isme lagi yang barangkali mirip sekali dengan intusionisme. Namanya iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia, yang hatinya telah bersih. Telah “siap”, sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini terbentang juga dalam sejarah pemikiran islam, boleh dikatakan sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
2.3. PERAN EPISTEMOLOGI DALAM EKSISTENSI ILMU
Fungsi dari dimensi epistemologi adalah menjadi pijakan dalam memberikan legitimasi bagi suatu ilmu pengetahuan agar diakui sebagai disiplin ilmu, atau menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu. Dengan demikian epistemologi juga memberikan kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Epistemologi adalah cabang dari filsafat yang mempunyai peran penting dalam perkemembangan ilmu pengetahuan. Salah satu wilayah bahasan epistemologi adalah persoalan bagaimana cara seseorang memperoleh pengetahuan. Rentang sejarah pemikiran filsafat dimulai dari abad klasik(600-400M) sampai abad kontemporer (1800-hingga sekarang)
Menurut Abdullah perhatian epistemologi klasik menyangkut aspek sumber ilmu pengetahuan. Sementara fokus epistemologi kontemporer lebih pada bagaimana proses, prosesdur, metodologi yang dipakai oleh seseorang ataupun kelompok untuk memperoleh pengetahuan Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Epistemologi adalah pengetahuan sistematik
Mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal
Model model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, feno¬menologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Yang dimaksud dengan epistimologi ialah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan pengetahuan ialah :
- Batasan kajian ilmu : secara ontologis ilmu membatasi pada Pengkajian objek yang berada dalam lingkup manusia tidak dapat mengkaji daerah yang bersifat transcendental.
- Cara menyusun pengetahuan : untuk mendapatkan pengetahuan menjadi ilmu diperlukan cara untuk menyusunnya yaitu dengan cara menggunakan metode ilmiah.
- Diperlukan landasan yang sesuai dengan ontologis dan aksiologis ilmu itu sendiri
- Penjelasan diarahkan pada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi penyebab timbulnya suatu gejala dan proses terjadinya.
- Metode ilmiah harus bersifat sistematik dan eksplisit
- Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak tergolong pada kelompok ilmu tersebut.
- Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai alam dan menjadikan kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal.
- Karakteristik yang menonjol kerangka pemikiran teoritis :
a. Ilmu eksakta : deduktif, rasio, kuantitatif
b. Ilmu social : induktif, empiris, kualitatif Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
-Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu.
-Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
• Menemukan dan merumuskan masalah
• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas).
2.4. PEOBEMATIK DALAM EPISTEMOLOGIS
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengatahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Jika seseorang mengetahui batas-batas pengetahuan, mereka tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Memang sebenarnya, seseorang baru dapat menganggap suatu pengetahuan setelah dia meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Dia mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang dia punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Persoalan tentang apa yang seharusnya dapat diketahui, telah lama menjadi persoalan. Sebagai contoh, pertentangan besar antara idealisme dengan realisme. Idealisme pada zaman yunani diwakili oleh Plato, meyakini bahwa pengetahuan yang sungguh-sungguh adalah dunia ide. Dengan kata lain, dunia riil yang kongkrit ini adalah pengetahuan yang semu, hanya merupakan “copy” dunia ide. Sebaliknya, realisme memandang bahwa dunia yang sesungguhnya dapat diketahui karena dapat diserap dengan indera.
Pengetahuan yang berdasarkan ide mengandung implikasi pendekatan yang rasional.sementara rasionalisme menggunakan pendekatan empiris. Lebih lanjut sifat metode idealisme lebih menekankan aspek deduktif yang terimplikasi dalam premis-premis, yaitu premis mayor, premis minor dan kesimpulan.
Pengetahuan yang berdasrkan empiris memandang pengetahuan itu dari sudut induktif sehingga untuk mencapai kebenaran , pengetahuan didasarkan realitas kongkret yang parsial. Kedua pendekatan yang antagonistik itu berlanjut terus dalam sejarah filsafat walaupun aliran kritisme mencoba menengahinya. Kritisme memandang pengetahuan rasional maupun pengetahuan empirik adalah benar dalam batas-batas tertentu. Untuk maksud itu kritisme mencoba memunculksn suatu tesis baru yang lebih memihak ke rasionalistik, sehingga ukuran-ukuran kebenarannya pun lebih didasarkan pada otonomi rasio.
Fenomena epistemologi tampak pada danya ilmu pengetahuan yang lebih menekankan aspek empirik. Akibadnya, apa yang bersifat pragmatis, berguna, dan dapat dirasakan dampaknya secara fisik merupakan hal utama untuk dikembangkan. Kehidupan pragmatis berguna atau yang dapat dirasakan dampaknya secara fisik merupakan hal yang utama untuk dikembangkan. Kehidupan materialistik yang pragmatis menjadi model dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun demikian pragmatisme tidak sepenuhnya diambil begitu saja karena dasar budaya yang berbeda. Akibadnya, apa yang proses adopsi ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya mengambil tradisi masyarakat ilmiah barat, melainkan lebih cenderung mengambil ilmu sebagai suatu produk yang madeg. Mungkin diperlukan suatu landasan epistemologi baru yang dapat mewadahi secara proporsional pemikiran empiris modern yang cenderung kearah humanisme sekuler, dan landasan epistemologi humanistik religius yang dapat membantu memandang realitas secara lebih komperhensif dalam menyelesaikan persoalan masa kini sesuai dengan budaya bangsa.
2.5. PERAN DIMENSI EPISTEMOLOGI BAGI MASALAH-MASALAH AKTUAL YANG TERJADI DALAM KEHIDUP SEHARI-HARI
Landasan epistemologi ilmu adalah menyangkut cara berfikir keilmuan berkenaan dengan kriteria apa agar sampai pada kebenaran ilmiah. Dengan kata lain, yang dibicarakan dalam epistemologi ilmu adalah suatu cara berfikir ilmiah. Seseai dengan perkembangannya, ilmu berkembang melalui cara berfikir sebagai berikut : a) ilmu rasional, b) ilmu rasional empirik, c) ilmu rasional empirik eksperimental. Dalam rangka ilmu-ilmu modern, cara berfikir ilmiah terkait atau berkaitan dengan kriteria ilmu rasioal empirik dan ilmu rasional empirik eksperimental.
Ilmu-ilmu modern tidak pernah terlepas dari masyarakat karena kebangkitan dan suksesnya justru dalam rangka memecahkan masalah kemasyarakatan. Salah satu implikasi dari perkembangan ilmu kemudian adalah terbentuknya cara berfikir ilmiah dalam mastarakat budaya barat. Hasil penting perkembangan ilmu didunia Barat menjadi pengantar terbentuknya kebudayaan modern dalam proses modernisasi atau pembangunan nasioanal. Melihat keberhasilan modernisasi itulah berbagai negeri bukan barat mengadopsi pembangunan nasioanal. Disinilah akan dapat ditekankan relevansi apakah yang bisa diambil dalam wacana landasan epistemologi ilmu bagi masalah aktual. Salah satu di antaranya adalah urgensi membudayakan cara berfikir ilmiah dalam masyarakat kebangsaan ini.
Seperti diketahui bersama pembangunan nasional memberikan keberhasilan dan kiranya sekaligus lebih banyak kegagalan. Mengapa demikian, salah satu sebabnya adalah terletak dalam ketidakcocokan cara berfikir, yakni berhubung dengan masih kuatnya cara berfikir tradisional mistis dalam masyarakat Indonesia. Hasil-hasil pembngunan dengan cara berfikir ilmiah sebagai sarananya diantaranya dalam bidang-bidang : pertanian, pengobatan, keluarga berencana, pariwisata dan lain-lain. Meskipun keberhasilan tersebut sering disertai oleh partisipasi masyarakat, namun tidaklah terbantah bahwa aspek mobilisasi masih jauh lebih kuat. Lemahnya partisipasi masyarakat tidak lain disebabkan oleh kurang dan tidak terbiasanya berfikir ilmiah.
Tentu saja cara berfikir ilmiah bukanlah satu-satunya jalan dalam memecahkan maslah kemasyarakatan. Dalam hal ini, dilain pihak perlu disingkat sekaligus cara berfikir ketimuran dalam memecahkan semesta persoalan, misalnya tidak semata-mata rasional melainkan dengan mengedepankan cita rasa religius–spiritual yang selama ini menjadi kekuatan penting masyarakat kebangsaan. Produk ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat diiringi teknologi yang semakin canggih tampak menarik menyilaukan mata telanjang mata hati karena langsung terasa manfaatnya: memudahkan dan memperenak hidup harian manusia. Namun, dampak negatifnya pun sangat kuat antara lain pemusnahan massal alam dan manusia serta pelecehan kodrat manusiawi (human nature, natura humana). Berlanjutnya dan merembetnya dampak negatif itu tidak boleh dibiarkan di tanah air. Dibutuhkan suatu epistemologi yang berbeda baik epistemplogi yang rasional maupun empirisme eksperimental yang perlu dilengkapi dengan humanistik religius.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas–batas, sifat, metode, dan keahihan pengetahuan. Jadi, obyek material epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu. Aliran dalam epistemologi diantaranya adalah :
Empirisme: menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan dari pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi
Rasionalisme : bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini, memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap objek
Positivisme: dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.
Intusionisme: Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, maka satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi sebab intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh.
Epistemologi memberikan kerangka acuan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah cabang dari filsafat yang mempunyai peran penting dalam perkemembangan ilmu pengetahuan. Salah satu wilayah bahasan epistemologi adalah persoalan bagaimana cara seseorang memperoleh pengetahuan.
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengatahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah seseorang dapat memperoleh pengetahuan. Berlanjutnya dan merembetnya dampak negatif itu tidak boleh dibiarkan di tanah air. Dibutuhkan suatu epistemologi yang berbeda baik epistemologi yang rasional maupun empirisme eksperimental yang perlu dilengkapi dengan humanistik religius.
3.2. SARAN
Dalam mengembangkan suatu ilmu hendaknya tidak bertumpu pada cara berfikir mistis, namun lebih pada cara berfikir ilmiah. Sebab, kebenaran yang diperoleh lebih dianggap sahih dan bisa bertahan.
DAFTAR PUSTAKA
Kattsoff, O.Louis. 1992. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
Surajiyo. 2007. Filsafat Umum Cetakan Pertama.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum Cetakan ke Tiga Belas.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
___________. 2009.Filsafat Pengetahuan. Http:// www. wordpress.com. Diakses tanggal 30 Oktober 2009.
___________. 2009.Epistemologi. Http:// www. wikipedia.com. Diakses tanggal 30 Oktober 2009.
___________. 2009.Epistemologi Ilmu Pengetahuan. Http:// www. google.com. Diakses tanggal 30 Oktober 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar